Saya senantiasa takjub ketika mendengar orasi atau membaca tulisan
tentang Pancasila oleh para tokoh yang benar-benar menguasai Pancasila
secara paripurna berdasar wawasan pandang sejarah, politik, sosiologi,
psikologi, psikososiologi, antropologi, etimologi, filologi, theologi,
dan logi-logi lain-lainnya.
Bahkan akhir-akhir ini Pancasila sudah didayagunakan sebagai sejenis
senjata pamungkas politik demi menghancurkan karakter mereka yang
dianggap sebagai lawan oleh pihak-pihak yang merasa diri benar-benar
mengerti akibat merasa telah menghayati makna Pancasila yang benar-benar
sebenar-benarnya benar.
Memang selalu menarik menyaksikan suatu pertarungan selama diri kita
tidak terlibat di dalam pertarungan yang sedang dipertarungkan seperti
misalnya menonton pertarungan sepak bola, tinju, gulat, bulutangkis dan
lain sebagainya.
Menonton film perang berlumuran darah berkisah tentang sesama
manusia membinasakan sesama manusia juga menarik selama kita tidak
terlibat langsung di dalam kemelut peperangan yang sebenarnya.
Maka menonton pertarungan politik di panggung politik di mana mereka
yang bertarung masing-masing menggunakan Pancasila sebagai senjata
pamungkas penghancur karakter lawan juga sangat menarik.
Bahkan menakjubkan, kehebatan sesama warga Indonesia yang merasa
paling mengerti Pancasila mengerahkan segenap perbendaharaan jurus
kesaktian-mandragunaan Pancasila demi menaklukkan lawan di panggung
politik.
Setiap kali saya mendengar orasi dan membaca tulisan kupas habis
Pancasila di arena pertarungan Pancasila, sanubari saya tergetar dengan
rasa kagum di samping malu sebab tersadar bahwa ternyata diri saya tidak
tahu apa pun mengenai Pancasila.
Setiap kali saya asyik menonton pertarungan dengan senjata godam
Pancasila menyelinap pula rasa bersalah ke lubuk sanubari terdalam saya.
Rasa bersalah akibat pada tanggal 28 September 2016, saya gagal
menyelamatkan warga Bukit Duri dari angkara murka penggusuran.
Beruntung
Saya termasuk warga Indonesia yang beruntung menikmati kemerdekaan
bangsa, negara dan rakyat Indonesia yang telah diproklamirkan Bung Karno
dan Bung Hatta sejak 17 Agustus 1945 tanpa pernah mengalami derita
digusur.
Namun atas kehendak Yang Maha Kuasa pada tanggal 28 September 2016,
saya terpaksa menyaksikan dengan mata telinga kepala saya sendiri
bagaimana sesama warga Indonesia yang disebut sebagai pemerintah
memerintahkan ratusan sesama warga Indonesia yang disebut sebagai Satpol
PP dikawal anggota kepolisian dan TNI dengan perlengkapan alat berat
bahkan senjata seperti menghadapi kaum teroris dengan gagah perkasa
membumiratakan bangunan yang dihuni warga Bukit Duri padahal menurut
majelis hakim pengadilan negeri dan pengadilanan tata usaha negara
bangunan dan tanah yang digusur masih dalam proses hukum di PN dan PTUN.
Menurut mantan ketua MK, Prof, Dr. Mahfud MD dan Menteri Hukum dan
HAM, Dr. Yasonna Laloy dan para beliau yang paham hukum : penggusuran
Bukit Duri di saat masih dalam proses hukum merupakan pelanggaran hukum
secara bukan biasa-biasa saja namun secara sempurna.
Di suatu negara hukum, tiada dalih apa pun kecuali kekuasaan
sewenang-wenang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang dapat
membenarkan penggusuran bangunan dan tanah masih dalam proses hukum.
Relevansi
Bagi mereka yang menyatakan bahwa tidak ada relevansi antara
Pancasila dengan penggusuran rakyat secara sempurna dan paripurna
melanggar hukum, hak asasi manusia, agenda Pembangunan Berkelanjutan,
Kontrak Politik Ir. Joko Widodo dengan rakyat miskin kota Jakarta, mohon
dimaafkan bahwa terpaksa saya memberanikan diri untuk mengingat bahwa
sejauh jangkauan daya ingat dan daya tafsir dangkal saya sebenarnya di
dalam Pancasila tersurat sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan
Indonesia serta Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, namun juga masih ada pula sila-sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia.
Berdasar fakta tak terbantahkan yang terbukti terjadi pada kenyataan
penggusuran terhadap rakyat di Kampung Pulo, Kalijodo, Luar Batang,
Pasar Ikan Akuarium. Kalibata, Karawang, Tangerang, Sukamulya, Lampung,
Papua dan berbagai pelosok Nusantara di luar jangkauan penginderaan
saya, dapat disimpulkan bahwa rakyat diperlakukan dengan tata cara, tata
laksana, serta tata krama yang justru sama sekali tidak ada relevansi
dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia.
Selama harapan secara konstitusional belum dilarang oleh
pemerintah, maka sebagai warga Indonesia saya memberanikan diri untuk
mengharapkan sesama warga bangsa, negara dan rakyat Indonesia berkenan
menghemat enerji lahir-batin dengan menghentikan perilaku saling mengaku
diri paling mengerti Pancasila demi mengalih-daya-gunakan segenap
energi lahir batin untuk mempersembahkan Pancasila kepada rakyat yang
sedang menderita akibat penggusuran secara tidak selaras Pancasila di
Kampung Pulo, Kalijodo, Luar Batang, Pasar Ikan Akuarium, Kalibata,
Karawang, Tangerang, Sukamulya, Lampung, Papua dan berbagai pelosok
Nusantara.
MERDEKA !
*) Penulis adalah budayawan pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan
Pancasila Bukan untuk Debat Namun untuk Rakyat
Senin, 5 Juni 2017 10:14 WIB