Di awal penyelenggaraan ibadah haji 2017 ini, untuk sementara Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin boleh tersenyum. Sebab, urusan pengelolaan
'fulus' haji tidak lagi menjadi tanggung jawabnya, termasuk Dana Abadi
Umat (DAU) yang pernah menjadi perhatian publik lantaran dicurigai
disalahgunakan.
Urusan "fulus" di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah (PHU Kemenag) sudah beralih dan dikelola Badan Pengelolaan
Keuangan Haji (BPJH) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014
tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH).
Lagi-lagi Lukman
Hakim Saifuddin boleh bangga lantaran sukses memisahkan pengelolaan
keuangan haji dari penyelenggaraan ibadah haji. Ditjen PHU tetap punya
kewenangan sebagai penyelenggara ibadah haji. Tak ada alasan lagi ke
depan ada tangan kotor ikut campur tangan dalam pengelolaan keuangan
haji.
Badan ini berada di luar struktur Kemenag dan bertugas
mengelola dana haji umat sekitar Rp90 triliun lebih. Dana tersebut
merupakan akumulasi dari setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
(BPIH) beserta nilai manfaat yang dihasilkan.
Menengok ke
belakang, UU tersebut disetujui Rapat Paripurna DPR pada 29 September
2014, disahkan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono pada 17
Oktober 2014. Hadirnya BPKH dimaksudkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan ibadah haji, rasionalitas, dan efisiensi penggunaan Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), dan manfaat bagi kemaslahatan umat
Islam.
Sebagai wujud dari pelaksanan amanat UU itu, lalu dibentuk
panitia seleksi atau Pansel BPKH. Presiden Joko Widodo pun sempat
menerima Panitia Seleksi (Pansel) BPKH di Istana Merdeka. Panitia ini
sebelumnya sudah bekerja cukup lama dalam menjaring orang yang memiliki
integritas dan profesional di bidang keuangan.
Selanjutnya
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla melantik
Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji
(BPKH), di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (26/7/2017) lalu.
Tujuh
Dewan Pengawas BPKH yang dilantik adalah: Yuslam Fauzi, dari unsur
masyarakat, sebagai ketua sekaligus merangkap anggota; Khasan Faozi,
dari unsur pemerintah, sebagai anggota; Moh. Hatta, dari unsur
pemerintah , sebagai anggota; KH Marsudi Syuhud, dari unsur masyarakat ,
sebagai anggota; Suhaji Lestiadi, dari unsur masyarakat, sebagai
anggota; Muhammad Akhyar Adnan, anggota dari unsur masyarakat; dan Abdul
Hamid Paddu, dari unsur masyarakat, sebagai anggota.
Sementara
tujuh Anggota Badan Pelaksana BPKH adalah: 1 Ajar Susanto Broto; Rahmat
Hidayat; Anggito Abimanyu; Beny Witjaksono; Acep Riana Jayaprawira; A.
Iskandar Zulkarnain; dan Hurriyah El Islamy.
Anggito Abimanyu
seusai dilantik sebagai Anggota BPKH oleh Presiden Joko Widodo, di
Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017) menyatakan, BPKH siap
menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menginvestasikan dana
haji.
Pakar 'fulus' dan mantan Kepala Badan Fiskal (BKF)
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini memang sangat paham posisi keuangan
haji. Ia merupakan salah seorang arsitek terbentuknya BPKH. Selain
pernah menjabat sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Anggito
menyebut per audit 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat, dan
dana abadi umat mencapai Rp95,2 triliun. Diperkirakan total dana haji
akhir tahun ini mencapai Rp100 triliun.
Pada acara pelantikan
Dewan Pengawas dan BPKH, Presiden Joko Widodo menyampaikan keinginannya
agar 'duit' haji dapat diinvestasikan ke sektor-sektor menguntungkan.
Dapat dipakai menyubsidi ongkos dan biaya haji sehingga bisa lebih
terjangkau masyarakat.
Soal pemanfaatan dana haji ini, jika
melihat lembaran lama, bukan hal baru. Inisiasi penempatan dana haji
pertama kali dilakukan Sri Mulyani Indrawati ketika menjabat Menteri
Keuangan pada periode pertama yaitu tahun 2009. Ketika itu Menteri
Keuangan dan Menteri Agama (almarhum M. Maftuh Basyuni) melakukan
penandatanganan kesepakatan (MoU) pada 22 April 2009.
Penempatan
dana Haji dan Dana Abadi Umat (DAU) mulai diarahkan ke instrumen SBSN
(Surat Berharga Syariah Negara/Sukuk). Alasannya, lebih aman dan dijamin
penuh oleh pemerintah dibandingkan perbankan.
Mengenai
penempatan dana Haji dan DAU dalam SBSN, Maftuh saat itu mengatakan,
penyimpanan dalam deposito bukannya tidak bermanfaat, namun tidak
terjamin 100 persen keamanannya, yang memperoleh jaminan hanya sebesar
Rp2 miliar. Dan disamping itu bisa jadi dana yang berada di bank hanya
dimanfaatkan oleh pemilik modal besar.
Kebijakan Maftuh Basyuni
menempatkan dana DAU ke dalam Sukuk menuai kecaman keras dari parlemen.
Terlebih saat itu tengah diangkat hak angket haji. Penggunaan dana, satu
sen pun, saat itu disoroti berbagai pihak. Dewan saat itu tengah getol
mengkritisi kementerian ini.
DPR menilai penggunaan dana senilai
Rp7 triliun untuk sukuk melanggar UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang
penyelenggaraan ibadah haji. Ketua Panitia angket DPR RI Zulkarnaen
Djabar paling keras menyuarakan ini. Penggunaan dana tanpa izin DPR
tersebut perlu ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Namun dalam perjalanannya dan memetik pengalaman
pemanfaatan dana Tabung Haji di Malaysia, daripada didiamkan, dana abadi
umat lebih baik diinvestasikan ke tempat-tempat yang tidak memiliki
risiko tinggi, aman, dan memberikan keuntungan besar. Salah satu sektor
yang diusulkan Jokowi pembangunan bidang infrastruktur seperti jalan tol
atau pelabuhan. Kepala Negara berharap anggota BPKH bisa melihat dan
mengaji peluang dalam menginvestasikan dana haji.
***
Kini
legislatif menyatakan tidak sepakat dengan pemerintah. Seperti yang
disebut Wakil Ketua Komisi VIII Abdul Malik Haramain. Ia dengan alasan
yang sama mengatakan, pemanfaatan dana haji yang dikelola BPKH untuk
investasi infrastruktur bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
UU tersebut harus jadi acuan
BPKH meski diberi kewenangan mengelola dana haji. Jika rencana itu
ditujukan untuk peningkatan pelayanan fasilitas haji, tidak masalah.
Untuk infrastruktur tidak boleh. Ini penggunaanya untuk kemaslahatan
umat. Penggunaan dana haji harus bebas resiko karena bukan uang negara.
Namun
harus dipahami bahwa penempatan dana haji untuk membiayai proyek
infrastruktur merupakan investasi bukan belanja. Artinya, jumlah dana
haji jamaah tidak akan berkurang malah akan bertambah dengan adanya
imbal hasil. Investasi dana haji pada proyek infrastruktur sama halnya
dengan penempatan dana haji ke bank syariah maupun Surat Berharga
Syariah (SBSN) atau sukuk.
Bahkan, seperti dikemukakan Menteri
PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, investasi pada proyek
infrastruktur dapat memberikan imbal hasil besar dibandingkan mengendap
di perbankan syariah. Misalnya, jika dana haji ditempatkan pada
proyek-proyek 'enak' sebagaimana diarahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Tegasnya,
tugas BPKH adalah memastikan bahwa investasi dana haji aman. Jika ada
transaksi pasti harus mendapatkan fatwa atau semacam dukungan dari Dewan
Syariah Nasional.
***
Memang urusan 'fulus' sering
diplesetkan kalau nggak ada bisa mamfus (mati). Karena itu, tidak heran,
anggota Dewan Pertimbangan Presiden almarhum KH Hasyim Muzadi pernah
mengingatkan bahwa dana haji sejatinya merupakan uang tuhan. Di Kemenag
itu ada uang rakyat dan uang tuhan. Uang rakyat berasal dari APBN. Uang
tuhan adalah uang umat yang dititipkan untuk penyelenggaraan haji.
Jangan coba disalahgunakan.
Dalam berbagai kesempatan almarhum
mengingatkan hal itu. Semua pihak yang terkait dalam pengelolaan
keuangan haji, jangan sekali-kali mempermainkan uang haji.
Pesan
ini memang tak bisa dipandang enteng. Pasalnya, akibat salah urus dan
para tangan kotor menilep dana haji ujungnya berurusan dengan aparat
penegak hukum. Mau lihat buktinya? Yang jelas, sudah ada.
Kini
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tak boleh terlalu lama tersenyum.
Ia harus kerja keras menggerakan jajarannya untuk meyakinkan dan
mensosialisasikan bahwa dana haji untuk infrastruktur tidak melanggar
hukum. Maklum, jika sudah menyangkut 'fulus' di kementerian ini, publik
akan membuka mata dan telinga lebar-lebar.
Kemenag harus
mengangkat dan mensosialisasikan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia IV Tahun 2012 yang memberi ketegasan bahwa dana setoran
BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri
Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif (memberikan
keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau
diinvestasikan dalam bentuk sukuk dan infrastruktur.
Sungguh
tepat jika Presiden Jikowi pun mengingatkan agar pengelolaan dana haji
dan penempatannya untuk kepentingan umat tidak boleh bertentangan dengan
hukum. Pernyataan ini melegakan umat. Kini, jajaran Kemenag yang
memiliki jangkauan dan jaringan luas penting untuk melakukan sosialisasi
meski pengelolaan dana haji tak lagi menjadi kewenangannya.
Sayangnya,
hingga kini organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam belum semua
menyuarakan prihal ini. Mengapa? Masih mengambil posisi 'wait and see':
positif atau negatif, untung atau rugi?
----------------------------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas dan mantan wartawan Perum LKBN Antara.
*) Tulisan sudah dimuat di media daring: kompasiana pada 30 Juli 2017.
http://www.kompasiana.com/edysupriatna/tak-masalah-duit-haji-untuk-infrastruktur-yang-penting-sosialisasinya_597df3337885f64d781b0c42
Tak Masalah Duit Haji untuk Infrastruktur, yang Penting Sosialisasinya
Selasa, 8 Agustus 2017 12:31 WIB
Namun dalam perjalanannya dan memetik pengalaman pemanfaatan dana Tabung Haji di Malaysia, daripada didiamkan, dana abadi umat lebih baik diinvestasikan ke tempat-tempat yang tidak memiliki risiko tinggi, aman, dan memberikan keuntungan besar. Salah