"Jelung" sebuah tempat yang dibuat sedemikian rupa mirip seperti menara tempat pengusungan jenazah (bade) yang menjulang tinggi, namun "jelung" ini dibuat dari anyaman bambu (bodag) besar.
"Bodag" besar yang ditaruh dalam sebuah tempat untuk aneka jenis hasil pertanian dan kelengkapan ritual "Nyelung" yang dapat diarak oleh ratusan orang seperti halnya mengarak bade.
"Jelung" yang berisi kelengkapan ritual dan semua jenis hasil pertanian diarak oleh ratusan petani secara estapet sejauh sepuluh kilometer diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali gong belaganjur.
Itulah suasana meriah, gembira dan penuh keakraban ketika sekitar 600 petani beserta anggota keluarganya di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali berhasil menggelar kegiatan ritual berskala besar setiap sepuluh tahun yang disebut "Nyelung" pada hari Selasa (15/7).
Sekitar 600 petani itu terhimpun dalam empat subak yang terdiri atas subak Buahan, Susut, Selat, dan subak Tengipis menggelar ritual berskala besar mempersembahan segala hasil pertanian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi) atas hasil panen yang mereka nikmati.
Kegiatan ritual dengan persiapan yang cukup lama itu digelar secara berkesinambungan setiap sepuluh tahun sekali yakni setiap tahun masehi dengan angka satuan empat yang bertepatan dengan persembahyangan di Pura Pucak Pausan di subak tersebut, tutur Sekretaris Subak Gede Buahan, Nyoman Jejel.
Kegiatan ritual yang digelar di pura yang berlokasi di tengah persawahan yang lingkungannya masih lestari dan menghijau itu berjarak sekitar 45 kilometer timur laut Kota Denpasar itu.
Ritual yang digelar secara berkesinambungan itu didasari atas tradisi, kepercayaan dan membayar kaul, karena zaman dulu tanaman pertanian di Subak Gede Buahan, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar itu sering mengalami gagal panen akibat serangan hama dan penyakit.
Atas kejadian itu anggota subak berinisiatif untuk memohon keselamatan tanaman di pura Pucak Pausan, Buahan Kaja. Dalam memohon keselamatan tanaman pertanian itu, anggota subak berkaul (mesesangi) akan menggelar kegiatan ritual dan menghaturkan hasil pertanian setiap sepuluh tahun sekali jika permohonan dikabulkan.
Setelah permohonan itu, tanaman pertanian di empat subak yang luasnya mencapai ratusan hektare itu tumbuhnya subur, menghasilkan produksi yang melimpah serta terhindar dari hama dan penyakit
Karena permohonan sudah terkabulkan, maka tradisi "Nyelung" dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali, yakni setiap tahun masehi dengan angka satuan empat yang bertepatan dengan persembahyangan di Pura Pucak Pausan, tutur Nyoman Jejel.
Lanjutkan tradisi
Nyoman Jejel menjelaskan, ratusan petani yang terhimpun dalam empat organisasi pengairan tradional bidang pertanian itu secara sadar melanjutkan tradisi kegiatan ritual yang diwariskan dari para leluhurnya.
Kesadaran mereka itu bukan tidak beralasan, karena setiap panen petani menikmati hasil yang melimpah, air irigasi yang lancar serta tanaman terhindari dari hama penyakit.
Oleh sebab itu seluruh petani sepakat untuk menggelar ritual secara berkesinambungan sepuluh tahun sekali dengan menghaturkan semua jenis hasil pertanian (pala bungkah-pala gantung), satu ekor itik, ayam, dan babi.
Kegiatan ritual dengan mengarak "jelung" secara beramai-ramai itu juga dilengkapi dengan duplikat semua jenis alat pertanian tradisional antara lain seperti "lampit", alat untuk menggemburkan tanah dan "tengala" alat untuk meratakan tanah, cangkul dan sabit..
"Jelung" diarak dari Pura Puseh Buahan, Desa Buahan, sampai Pura Pucak Pausan Desa Buahan Kajan yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer mengelilingi lahan perawahan di empat subak itu.
Arak-arakan ritual itu dilakukan ratusan petani keempat anggota subak secara estapet mengusung "jelung" sampai di Pura Pucak Pausan. Pertama anggota Subak Buahan dan Susut mengusung sampai di Banjar Selat. Dari Banjar Selat digantikan petani Subak Selat mengusung sampai di Banjar Tengipis.
Dari subak Tenggipis selanjutnya digantikan petani Subak Tengipis mengusung sampai Pura Pucak Pausan. "Jelung" sebelumnya disucikan dengan diupakarai dengan menghaturkan "dapetan".
Selanjutnya "Jelung" mengelilingi Pura Pucak sebanyak tiga kali. Diusung krama subak secara bergantian. Usai mengelilingi Pura Pucak, diusung ke utama mandala pura (areal paling suci) di pura tersebut untuk selanjutnya melakukan persembahyangan bersama.
Pura Subak Terlantar
Keempat subak yang menggelar kegiatan ritual berskala besar itu, umumnya kondisi sawah masih lestari, tidak ada alih fungsi lahan seperti yang terjadi di daerah perkotaan di Pulau Dewata.
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia memberikan apresiasi terhadap subak di Gianyar yang secara rutin menggelar kegiatan ritual berskala besar untuk keselamatan tanaman dan kesejahteraan petani sendiri.
Hal itu penting mengingat sejumlah tempat suci (pura) di kawasan subak di daerah perkotaan di Bali mengalami keterlantaran, akibat sawah telah beralih fungsi menjadi pemukiman atau tempat lainnya di luar pertanian.
Sementara masyarakat yang membeli lahan pertanian untuk dijadikan tempat tinggal atau tempat usaha bisnis sama sekali tidak ada kepedulian untuk memelihara tempat suci warisan subak.
Masyarakat sekitar tempat suci subak yang terlantar itu umumnya menginginkan adanya fatwa dari Pemkab/Pemkot tentang bagaimana seharusnya mengayomi pura subak yang terlantar itu.
Masyarakat sekitarnya umumnya tidak berani "mem-preline" (mengembalikan) dan mengharapkan agar penduduk yang membeli tanah sawah di sebuah subak untuk dibangun menjadi rumah dapat meneruskan menjaga dan merawat pura subak itu.
Namun kecendrungan mereka tidak bersedia, karena banyak di antara mereka sudah mengayomi pura di tempat asalnya, atau mereka bukan umat Hindu. Kondisi itu menunjukkan bahwa di satu pihak, petani selalu berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan masyarakat hukum adat yang lain, karena selalu bersedia mengambil alih tanggung jawab pengelolaan pura yang terlantar.
Sedangkan di pihak lain dapat pula dianggap bahwa petani tampaknya lebih religius dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini tampak seirama dengan penelitian yang dilakukannya (Windia dkk, 2001) di Gianyar.
Hasil penelitian itu menemukan bahwa pada dasarnya keberlanjutan Tri Hita Karana hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan, tampaknya lebih besar dibandingkan dengan keberlanjutan THK pada masyarakat desa pakraman.
Sementara hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas penduduk dalam melakukan ritual keagamaan dengan etos kerja dari masyarakat yang bersangkutan.
Jika hal itu benar, maka berarti etos kerja di kalangan petani lebih baik dibandingkan dengan etos kerja di kalangan masyarakat desa pakraman, tutur Prof. Windia.(WDY)
"Nyelung" Petani Bayar Kaul Sembahkan Hasil Tani
Kamis, 17 Juli 2014 6:48 WIB