Denpasar (Antara Bali) - Dosen Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Dewi Yuri Cahyani menilai Roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany menjadi semacam kritik sosial sekaligus mencoba menggambarkan situasi kehidupan masyarakat di Papua.
"Beragam persoalan, terutama seputar perempuan, mengemuka dalam dialog yang berangkat dari buku Roman Isinga tersebut," kata Yuri Cahyani yang tampil sebagai pembicara bersama Robert Bala Baowollo dalam diskusi sastra di Bentara Budaya Bali (BBB), Ketewel, Kabupaten Gianyar, Rabu malam.
Kedua pembicara itu sepakat bahwa melalui buku Roman Isinga dapat terefleksikan berbagai fenomena kekerasan terhadap kaum perempuan, khususnya yang terjadi di Papua. Karya sastra tersebut dinilai dapat menjadi salah satu pendekatan yang berbeda dalam memandang dan menyikapi problematik yang terjadi di masyarakat.
Robert B. Baowollo, peneliti konflik etno-religius dan isu-isu multikulturalisme, serta konsultan pendidikan untuk perdamaian, menyebut bahwa novel Isinga menawarkan sebuah perspektif baru bagi upaya resolusi konflik multi-dimensi di tanah Papua.
Tidak dipungkiri, etnisitas dan beragam konflik yang terjadi di Papua, disertai pula siklus kekerasan struktural terhadap perempuan. Struktur tersebut meliputi sosial, ekonomi dan politik yang menempatkan perempuan sebagai kelompok tersubordinasi dalam dominasi masyarakat patriarki dan kapitalisme.
"Untuk membaca kekerasan terhadap perempuan Papua, kita harus melihatnya pada lapis sub-struktur dan sub-kultur," ujar Robert Baowollo alumnus S2 Universitas Hamburg, Jerman (1996).
Kekerasan menurutnya, memiliki banyak wajah dan banyak nama. Kekuasaan secara alami cenderung memanfaatkan kekerasan untuk mempertahankan dominasinya. Oleh karena itu kekerasan dan subordinasi tidak dapat dipisahkan, keduanya hadir dan dialami masyarakat adat setempat, di tempat umum maupun di dalam rumah.
Dewi Yuri Cahyani menilai novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany hanya menjadi pintu masuk untuk melihat berbagai problematik sosial dalam masyarakat Papua. Sastra menurutnya memiliki dua peran yang senantiasa berjalan beriringan, yakni sebagai instrumen kekuasaan, sekaligus juga sebagai kritik sosial.
"Kekuasaan dalam konteks ini tidak hanya sebatas kekuasaan yang bersifat formal, namun bisa mengacu pula pada kekuasaan dalam masyarakat adat, kultur hingga rumah tangga," ujar Dewi Yuri Cahyani. (WDY)
Roman Isinga Jadi Semacam Kritik Sosial
Kamis, 18 Juni 2015 10:06 WIB